Hukum yang terkait dengan niat ada 7, yang terkumpul pada ucapan sebagian ulama, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, “Hakikat, hukum, tempat, waktu, kaifiat, syarat sah, dan tujuannya.
Berikut penjelasan ketujuh perkara yang mereka sebutkan:
- Hakikat, maksudnya adalah definisi niat.
Niat secara bahasa adalah maksud. Sementara secara syariat, niat adalah memaksudkan sesuatu, dan maksud ini muncul berbarengan dengan melakukan sesuatu tersebut. Maka azm (tekad) bukan termasuk niat secara syariat karena ia adalah memaksudkan sesuatu sebelum melakukan sesuatu tersebut
- Hukum berniat.
Berniat hukumnya wajib pada sebagian besar ibadah, termasuk wudhu dan salat. Contoh ibadah yang hukum niatnya sunnah adalah memandikan jenazah. Sunnah bagi yang memandikan untuk meniatkan memandikan jenazah.
- Tempat niat.
Tempat niat adalah dalam hati. Namun, sunnah untuk melafalkannya dengan dalil qiyas terhadap ibadah haji, dan untuk membantu hati memunculkan niat. Sunnahnya melafalkan niat ini, juga merupakan mazhab Imam Ahmad rahimahullah.
- Waktu berniat.
Berniat dalam hati bersamaan dengan awal ibadah. Dalam ibadah wudhu, niat wajib muncul bersamaan dengan mencuci wajahnya. Karenanya kapan niat sudah muncul berbarengan dengan mencuci bagian manapun dari wajah, maka niatnya sudah sah. Bagian wajah yang terkena air bersamaan dengan munculnya niat itu, juga sudah sah sebagai cucian dalam wudhu. Jika seseorang sudah terlanjur mencuci sebagian wajahnya sebelum ia memunculkan niat, maka bagian wajah itu belum sah tercuci, sehingga ia wajib mencucinya kembali.
Penting kita ketahui bahwa hukum ini hanya berlaku pada sebagian besar ibadah. Karenanya, pada ibadah tertentu, boleh memunculkan niat sebelum melakukan ibadah tersebut. Semisal pada ibadah puasa, zakat, dan menyembelih hewan kurban.
Catatan:
Yang paling utama ketika seseorang mencuci kedua telapak tangannya adalah ia meniatkannya sebagai sunnah wudhu. Misalnya ia mengatakan: “Nawaitu sunnatal wudhu“. Kemudian ketika mencuci wajah, barulah ia memunculkan niat yang wajib dalam hatinya.
- Kaifiat niat.
Kaifiat niat yang hadir dalam hati, berbeda antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Adapun kaifiat niat wudhu, maka penulis kitab Mukhtashar Lathif menyebutkan, “Meniatkan mengangkat hadas, atau bersuci untuk salat, atau meniatkan wudhu.” Kedua niat yang pertama boleh secara mutlak. Sementara niat yang terakhir -yakni meniatkan wudhu-, ini hanya perboleh menurut pendapat yang muktamad. Hal itu karena sebagian ulama menyatakan tidak sahnya berwudhu jika hanya meniatkan wudhu, sebagaimana tidak sah mandi junub jika hanya meniatkan mandi. Namun pendapat ini terbantahkan dengan adanya perbedaan antara mandi dan wudhu. Wudhu tidak mungkin terwujud kecuali dalam konteks ibadah, berbeda halnya dengan mandi, karena ada mandi yang hukumnya bukan ibadah. Wallahu A’lam.
- Syarat sah niat.
Secara umum syarat syah niat pada semua ibadah ada 4, yaitu:
Pertama: Islam.
Maka tidak sah niat seorang kafir. Kecuali perempuan ahli kitab yang suci dari haid, lantas ia mandi dengan niat agar suaminya yang muslim bisa berhubungan dengannya.
Kedua: Tamyiz atau berakal.
Maka tidak sah niat dari anak kecil yang belum mumayyiz, sebagaimana tidak sah niat dari orang yang gila
Ketiga: Mengetahui ibadah yang ia niatkan. Orang yang berniat, wajib memiliki pengetahuan tentang tata cara ibadah yang akan ia kerjakan, walaupun pengetahuan secara global. Ia juga wajib mengetahui bahwa ibadah yang akan ia kerjakan itu hukumnya wajib, jika memang ibadah itu wajib.
Keempat: Tidak melakukan hal yang membatalkan niat. Semisal murtad, atau membatalkan niat, atau merubah niat, atau mengaitkan niat dengan sesuatu yang mungkin terjadi. Semisal ia merubah niatnya dari wudhu menjadi bersih-bersih.
- Tujuan niat.
Tujuan niat ada dua:
Pertama: Membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, semisal membedakan antara mandi Jumat dengan mandi sehari-hari.
Kedua: Membedakan antara ibadah satu dengan ibadah lain, semisal membedakan antara mandi junub dengan mandi Jumat.
Simak video penjelasan lengkap terkait Tujuh Hukum Niat.
Baca artikel lain terkait thaharah pada Kategori Fiqh Thaharah.