Anas bin Malik -radhiallahu anhu- berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak masuk ke dalam WC, maka beliau berdo’a: [ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHABA`ITS (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan)].” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian mendatangi tempat buang air maka jangan menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, namun menghadaplah arah Timur atau Barat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sabda beliau, “Akan tetapi menghadaplah ke timurnya atau ke baratnya,” berlaku bagi negeri-negeri yang kiblatnya di utara atau selatan. Adapun bagi yang kiblatnya di timur atau barat (seperti Indonesia) maka ia hebdaknya menghadap ke utara atau ke selatan.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma ia berkata:
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
“Aku pernah naik ke atap rumah Hafshah untuk mengerjakan sesuatu. Tidak sengaja aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam buang air membelakangi kiblat menghadap Syam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Penjelasan ringkas:
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman al-Farisi radhiallahu anhu bahwa:
قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ
“Ada yang bertanya kepadanya, “Apakah Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga tata cara buang air besar?“ Salman menjawab, “Ya.” (HR. Muslim)
Salah satu bentuk kesempurnaan Islam adalah ia mengajarkan kepada pemeluknya segala sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Termasuk salah satunya adalah tata cara dan adab ketika buang air. Adab-adab ini ada yang hukumnya wajib dan ada yang hukumnya sunnah.
Sebagian dari adab-adab tersebut adalah:
1. Sunnah berlindung kepada Allah dengan dari gangguan setan sebelum memasuki tempat buang air, sebagaimana dalam hadits Anas. Dalam Riwayat Said bin Manshur ada tambahan: BISMILLAH. Sehingga lafazh doa sebelum masuk wc yang lengkap -sebagaimana dalam al-Minhaj-: BISMILLAH. ALLAHUMMA INNI A’UUDZU BIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHABA`ITS.
Doa ini dibaca sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam wc, atau ketika akan menyingkap auratnya jika ia buang air pada tempat terbuka.
2. Adapun zikir keluar dari wc, maka doa yang sahih adalah apa yang tersebut al-Minhaj karya al-Nawawi: GHUFRANAKA. ALHAMDULILLAHIL LADZI ADZHABA ‘ANNIL ADZA WA ‘AFANI.
Imam al-Nawawi rahimahullah berkata dalam al-Minhaj, “Sunnah bagi orang yang masuk wc untuk mendahulukan kaki kirinya, dan yang keluar mendahulukan kaki kanannya.”
3. Adapun dalam masalah hukum menghadap dan membelakangi kiblat dalam buang air besar dan kecil, maka ada rincian dalam hukumnya, sebagai berikut:
Keadaan Pertama: Ia buang air pada tempat terbuka, maka haram hukumnya menghadap dan membelakangi kiblat. Hal ini berdasarkan hadis Abu Ayyub, juga hadis Jabir bin Abdillah beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَانَا عَنْ أَنْ نَسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةَ أَوْ نَسْتَقْبِلَهَا بِفُرُوجِنَا إِذَا أَهْرَقْنَا الْمَاءَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membelakangi kiblat atau menghadapnya dengan kemaluan kami, ketika kami buang air.” (HR. Ahmad)
Keadaan Kedua: Ia buang air pada tempat tertutup, tapi bukan tempat khusus untuk buang air. Semisal ia buang air pada tempat terbuka tapi ia memasang kain penutup darurat atau yang semisalnya. Hukumnya boleh jika terpenuhi 3 syarat:
@ Tinggi minimal kain penutupnya 2/3 hasta, atau sekitar 32 cm. Jika ia buang air dalam keadaan berdiri, maka tinggi kainnya minimal sejajar dengan pusar.
@ Kain penutupnya harus lebar sehingga cukup menutupi semua tubuhnya ketika duduk buang air.
@ Jarak ia duduk dengan kain penutupnya, maksimal 3 hasta, atau sekitar 144 cm. Ini semua dengan asumsi bahwa 1 hasta setara dengan 48 cm.
Al-Ramli rahimahullah berkata, “Jika seseorang buang air pada tempat terbuka atau dalam bangunan yang tidak bisa diberi atap, maka tirainya minimal setinggi 2/3 hasta, dan jarak antara ia dengan tirainya maksimal 3 hasta. Jika ia buang air dalam bangunan yang beratap atau bangunan yang tidak beratap namun bisa diberi atap, maka hal itu boleh walaupun jarak antara ia dengan tirai lebih dari 3 Hasta.”
Jika ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka haram hukumnya buang air menghadap atau membelakangi kiblat.
Keadaan Ketiga: Ia buang air pada tempat tertutup, yang memang khusus untuk buang air. Boleh menghadap dan membelakangi kiblat pada keadaan ini, berdasarkan hadis Ibnu Umar. Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma juga berkata, “Sesungguhnya hal itu (menghadap dan membelakangi kiblat) hanya terlarang jika buang airnya pada ruangan terbuka. Akan tetapi jika ada sesuatu yang menghalangimu dengan kiblat maka hal tersebut tidak mengapa.” (Riwayat Abu Daud)
Simak video penjelasan lengkap terkait Adab-Adab Buang Air.
Baca artikel lain seputar thaharah pada Kategori Fiqh Thaharah.