Sabtu, 26 Apr 2025
Home
Search
Menu
Share
More
atsariyyah pada Aqidah
18 Jan 2025 16:33 - 6 menit reading

Laranggan Bersumpah Dengan Selain Nama Allah dan Kaffaratnya

Dari Abdullah bin Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدْرَكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَهُوَ يَسِيرُ فِي رَكْبٍ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- menjumpai Umar bin Al-Khaththab yang sedang menaiki hewan tunggangannya, seraya dia bersumpah dengan nama ayahnya. Maka beliau -Shallallahu alaihi wasallam- menegur, “Ketahuilah sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian. Karenanya barangsiapa yang mau bersumpah, hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah atau lebih baik dia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5643, 6155, 6156 dan Muslim no. 3104)

Dari Buraidah -radhiallahu anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِالْأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang bersumpah dengan amanah, maka bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud no. 3253)

Dari Sa’ad bin Ubaidah bahwa Ibnu Umar mendengar seorang laki-laki mengucapkan, “Tidak, demi Ka’bah.” Ibnu Umar lalu berkata, “Tidak boleh bersumpah dengan selain Allah. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Abu Daud no. 2829 dan al-Tirmizi no. 1535)

Penjelasan Ringkas:

Salah satu bentuk ibadah adalah pengagungan kepada Allah Ta’ala. Karenanya, barangsiapa yang mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan pengagungan ibadah, maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan.

Salah satu bentuk mengagungkan Allah adalah bersumpah dengan menggunakan nama-Nya. Hal itu karena sumpah, biasanya diucapkan untuk menguatkan dan membenarkan ucapannya, bahwa dia tidak berdusta dan tidak salah dalam pengabarannya. Dalam keadaan seperti ini, tentunya seseorang hanya akan bersumpah dengan menggunakan nama yang dia merasa segan dan hormat kepadanya. Sementara zat yang paling pantas untuk disegani, dihormati, dan diagungkan hanyalah Allah Ta’ala.

Karena itu bersumpah dengan menggunakan nama Allah Ta’ala adalah ibadah, dan sebaliknya bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah Ta’ala adalah perbuatan yang terlarang. Lantas, apa hukum orang yang bersumpah dengan selain nama Allah?

Para ulama rahimahumullah sepakat bahwa bersumpah dengan selain nama Allah, hukumnya adalah syirik kecil, jika disertai pengagungan terhadap nama selain Allah tersebut. Adapun jika bersumpah dengan selain nama Allah itu, hanya sekedar di mulut, tanpa ada pengagungan kepada selain Allah tersebut, maka mereka juga sepakat bahwa perbuatan itu terlarang. Hanya saja para ulama Syafiiyah menyatakan hukumnya makruh, sementara mayoritas ulama menyatakan hukumnya haram, tapi bukan termasuk kesyirikan. Pendapat mayoritas ulama dalam hal ini lebih tepat, wallahu A’lam.

Di antara contoh sumpah selain Allah yang tersebar adalah: Bersumpah dengan menggunakan orang tua, bersumpah dengan amanah, bersumpah dengan ka’bah, bersumpah dengan nama Nabi Muhammad -alaihishshalatu wassalam-, bersumpah dengan tanah air, dan seterusnya.

Bolehkah bersumpah dengan menggunakan sifat-sifat Allah?

Ya boleh, berdasarkan nash ayat: 

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ

“Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shad: 82)

Pada ayat ini, Iblis bersumpah dengan sifat izzah (keperkasaan) Allah dan Allah Ta’ala Ta’ala tidak mengingkarinya.

Imam al-Nawawi berkata dalam Raudhah al-Thalibin (11/9), “Sumpah tidak dianggap kecuali dengan (menyebut) Allah atau salah satu dari sifat-sifat-Nya. Maka jika seseorang bersumpah dengan selain itu, seperti dengan (menyebut) Nabi Muhammad ﷺ atau Ka‘bah, maka itu tidak dianggap sumpah (dalam hukum).”

Maka dari sini kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan yang lain:

Apa hukum bersumpah dengan menggunakan mushaf?

Kita katakan dalam hal ini ada rincian:

Jika yang dia maksudkan dengan mushaf adalah lembaran-lembaran kertas yang tertulis di dalamnya Al-Qur`an, maka tidak boleh bersumpah dengan mushaf dalam makna ini. Karena kertas dan tinta yang ada di dalamnya adalah makhluk.

Tapi jika yang dia maksudkan dengan mushaf adalah Al-Qur`an (firman Allah) yang tertulis di dalam mushaf tersebut, maka boleh bersumpah dengannya. Karena Al-Qur`an termasuk dari sifat kalam Allah, dan telah berlalu penjelasan bolehnya bersumpah dengan menggunakan sifat Allah.

Jadi, bersumpah dengan al-Qur`an boleh secara mutlak, sementara bersumpah dengan mushaf, butuh dirinci dengan rincian di atas, wallahu A’lam.

Hanya saja perlu diingat bahwa bersumpah dengan al-Qur`an pada perkara dusta, merupakan dosa yang sangat besar. Ibnu Mas’ud -radhiallahu anhu- berkata, “Barangsiapa yang bersumpah dengan menggunakan satu surah dari Al-Qur`an (untuk kedustaan) maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan memikul dosa sebanyak jumlah ayat dari surah tersebut.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 206 dengan sanad yang shahih)

Faidah dari dalil-dalil di atas:

  1. Wajib mengingkari kesyirikan dan kekafiran dengan segera. Berbeda halnya dengan maksiat biasa yang derajatnya di bawah dari kesyirikan dan kekafiran, terkadang nahi mungkarnya bisa diundurkan jika ada maslahat yang lebih besar.
  2. Tidak boleh mengundurkan penjelasan dari waktu dibutuhkannya. Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak mengundurkan larangan beliau, karena penjelasannya dibutuhkan saat itu. Yaitu bersumpah dengan selain nama Allah, sudah menjadi fenomena umum dan tersebar di kalangan kaum musyrikin dahulu.
  3. Hendaknya bagi orang yang melarang sesuatu, dia memberikan solusi atau jalan lain untuk mendapatkan apa yang dituju tanpa menempuh jalan yang terlarang tersebut. Tatkala Umar ingin menguatkan ucapannya dengan bersumpah dengan selain nama Allah, Nabi -alaihishshalatu wassalam- melarangnya, tapi kemudian memberikan solusi agar dia bisa tetap menguatkan ucapannya dengan cara yang tidak terlarang, yaitu bersumpah dengan nama Allah. Metode seperti ini merupakan sifat umum dari syariat Islam.
  4. Orang yang mengucapkan kesyirikan dalam keadaan dia tidak tahu itu syirik, lalu ada orang yang menegurnya sehingga dia berhenti dari ucapannya, maka dia tidak dihukumi terjatuh ke dalam syirik. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Umar -radhiallahu anhu- di sini, juga pada kisah sahabat dalam kisah ‘dzatu anwath’ tatkala mereka meminta pohon kepada Nabi sebagai pendatang berkah dari Allah, dan juga pada ucapan Bani Israil tatkala mereka meminta sembahan selain Allah kepada Musa. Mereka semua mengucapkan kesyirikan tapi tidak dihukumi terjatuh dalam syirik, karena mereka semua berhenti ketika dilarang. Tapi tidak diragukan bahwa seandainya Bani Israil dan para sahabat melanjutkan permintaan mereka setelah dilarang, maka mereka dipastikan terjatuh ke dalam kesyirikan. Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kasyf Asy-Syubuhat.
  5. Makna ‘maka bukan dari golongan kami’ adalah tidak berada di atas petunjuk kami. Para ulama menyatakan bahwa kapan hukuman seperti ini disebutkan pada sebuah dosa maka menunjukkan larangan itu merupakan dosa besar, bukan dosa kecil.
  6. Kesyirikan/kekafiran, ada yang bersifat lafzhi (pengucapan), sehingga kapan dia telah diucapkan maka pelakunya sudah dihukumi berbuat syirik walaupun dia tidak meniatkan dan tidak mengamalkannya.

Tambahan:

Barangsiapa yang bersumpah dengan nama Allah untuk suatu kejadian yang akan terjadi, tapi ternyata hal itu tidak terjadi, maka dia wajib untuk membayar kaffarah. Semisal seseorang mengatakan: Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan Zaid. Namun kemudian ia berbicara dengannya.

Kaffarahnya tersebut dalam surah Al-Maidah ayat 89:
1.    Mengandung 3 perkara yang boleh dipilih salah satunya:
a.    Memberi makan 10 orang miskin dengan makanan yang dimakan dalam keluarganya.
b.    Memberi pakaian 10 orang miskin.
c.    Membebaskan seorang budak, yakni budak yang beriman

2.    Jika dia tidak bisa menjalankan ketiga perkara di atas, maka kaffarahnya adalah berpuasa 3 hari, dan dalam qiraah Ibnu Abbas harus 3 hari berturut-turut, wallahu a’lam.
Kedua kaffarah ini berurut, karenanya tidak syah membayar kaffarah ke-2 jika dia masih bisa menjalankan salah satu dari 3 kaffarah yang pertama.

Adapun bagi siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah walaupun dia benar (apalagi jika dusta), maka tidak ada kaffarah atasnya karena itu bukanlah sumpah yang sah. Imam al-Nawawi rahimahullah berkata dalam al-Majmu’ (6/39), “Sumpah tidak dianggap sah kecuali dengan nama-nama Allah atau salah satu dari sifat-sifat-Nya. Maka jika seseorang bersumpah dengan selain itu, seperti dengan (nama) nabi, Ka‘bah, atau Rasul, maka itu bukan sumpah secara syar‘i dan tidak ada kewajiban kafarat atasnya.”

Simak juga video penjelasan terkait Kaffarat Melanggar Sumpah.