Rabu, 23 Okt 2024
Home
Search
Menu
Share
More
atsariyyah pada Muslimah
17 Mei 2024 02:40 - 7 menit reading

Kedudukan dan Peran Muslimah dalam Islam

Islam merupakan agama yang kekal dan penutup bagi semua agama. Salah satu ciri khasnya adalah sifatnya yang universal dan adil, dimana Islam menetapkan hak setiap orang, termasuk perempuan. Islam menghormati perempuan, baik sebagai ibu, istri, anak, maupun anggota masyarakat. Perlindungan yang layak bagi perempuan, mulai dari usia muda hingga akhir hayatnya, hanya ada dalam syariat Islam. Hal ini terliihat jelas melalui penjelasan poin-poin berikut:

Pertama: Islam mengecam tindakan jahiliyah yang mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, dengan ancaman akan mempermalukan pelakunya pada hari kiamat.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila bayi perempuan yang terkubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apa ia dibunuh.” (Q.S. al-Takwir/81: 8-9)
Wanita tercipta dengan hikmah tertentu, yaitu kaum pria tidak dapat hidup tanpa mereka, begitu pula sebaliknya. Allah telah menjamin rezeki bagi setiap pria dan wanita.

Kedua: Islam mengajak umatnya untuk merawat anak perempuan, dan menjanjikan surga bagi mereka yang melakukannya.
Aisyah radhiallahu anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang diuji dengan anak perempuan dan ia memperbaiki asuhan mereka, maka anak-anak tersebut akan menjadi pelindung bagi orang tua mereka dari api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Anas bin Malik radhiallahu anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang bersabda, “Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka pada hari kiamat, dia akan datang bersama saya dalam keadaan dekat seperti dua jari ini,” sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Muslim)

Ini merupakan motivasi dari Allah Yang Maha Pengasih untuk menghormati anak perempuan, merawat mereka, dan memperhatikan pendidikan mereka hingga saat mereka menikah dengan suami mereka. Hal ini agar mereka bersama pasangan dapat menjalankan tanggung jawab kehidupan yang telah dipercayakan kepada mereka berdua.

Ketiga: Di antara ulama, tidak terdapat perbedaan pendapat bahwa tanggung jawab nafkah untuk anak perempuan jatuh kepada orang yang merawat mereka.
Apabila seorang wanita tidak mempunyai pemberi nafkah, maka pemerintah berkewajiban untuk menafkahinya, sebab pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. Oleh karena itu, dalam kondisi apapun, wanita dijamin mendapat perlindungan dalam Islam. Bahkan jika suami tidak mampu memberikan nafkah, namun istrinya menuntut nafkah yang merupakan haknya, maka istri masih berhak atas hak tersebut. Jika seorang istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya karena tidak diberi nafkah, maka hakim harus mempertimbangkan gugatannya, dan dapat mengabulkan permohonan cerai jika suami memang tidak bisa memberikan nafkah.

Keempat: Seorang wanita yang telah cukup umur untuk menikah memiliki kebebasan penuh untuk memilih calon suaminya sendiri, sesuai dengan hukum syariat.
Tidak seorang pun berhak mengambil kebebasan ini dari dirinya, karena Allah Ta’ala telah memberikan hak tersebut kepadanya.
Seorang gadis pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, mengadukan bahwa ayahnya memaksa dia menikah dengan pria yang tidak ia inginkan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan keputusan kepada gadis tersebut dan membatalkan pernikahannya. (HR. al-Bukhari)

Kelima: Seorang wanita yang telah menikah berhak atas hak-haknya dari suaminya, sebagaimana suaminya berhak atas hak-haknya dari dirinya.
Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 228, “Dan para wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka sesuai dengan cara yang ma’ruf.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berlakulah kepada kaum wanita dengan cara yang terbaik.” (HR. al-Bukhari)
Beliau, shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik perlakuannya kepada istrinya, dan saya adalah yang terbaik di antara kalian dalam berlaku baik kepada istri.” (HR. Ibnu Majah)

Keenam: Islam mengakui hak kepemilikan pribadi bagi wanita atas harta mereka, memberikan kebebasan penuh untuk mengatur harta miliknya.
Wanita berhak atas warisan, berbeda dengan masa jahiliyah ketika mereka dianggap sebagai bagian dari warisan. Islam memperbolehkan wanita untuk berkarir dalam bidang yang sesuai dengan syariat dan aturan yang telah ditetapkan, seperti menghindari lingkungan ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita tanpa keperluan). Terdapat beragam pekerjaan yang dapat diisi oleh wanita sambil menjaga kehormatan dan martabat mereka.
Islam juga memberikan hak kepada wanita untuk mendonasikan dan mengelola harta mereka sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak mengatur hal ini, kecuali jika mereka masih di bawah umur atau tidak memiliki kemampuan mental (idiot).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu kali memotivasi para sahabat wanita agar bersedekah, dan sebagai respons, mereka memberikan perhiasan mereka. (HR. al-Bukhari)
Perhiasan tersebut merupakan salah satu dari harta berharga yang dimiliki oleh wanita.
Pada suatu hari, Zainab, istri dari Abdullah bin Mas’ud, mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk meminta izin agar dapat memberikan zakat hartanya kepada suaminya, Abdullah bin Mas’ud, yang memang layak menerima zakat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun mengizinkannya dan menyampaikan bahwa dengan zakat tersebut, ia tidak hanya menunaikan zakat tetapi juga menjalin silaturahmi. (HR. Muslim)

Ketujuh: Islam memberikan penghormatan yang tinggi kepada wanita, terutama yang telah menjadi ibu.
Mereka berhak untuk dihormati, dimuliakan, dan diperlakukan dengan baik. Seperti yang dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan agar kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu dari mereka atau keduanya mencapai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengucapkan kepada mereka perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, tetapi ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada keduanya dengan penuh kasih sayang dan doakanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah membesarkanku di waktu kecil.’” (Q.S. al-Isra`/17: 23-24)

Dari ayat di atas, Allah mengaitkan hak kedua orang tua dengan hak-Nya sendiri.
Allah menekankan secara khusus hak-hak seorang ibu, mengingat kesulitan yang dihadapinya selama kehamilan, persalinan, dan pengasuhan anak. Allah berfirman dalam Q.S. Luqman/31:14, “Dan Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang semakin bertambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu; hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, terdapat seorang pria yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbuat baik terlebih dahulu?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau kembali menjawab, “Kemudian ibumu.” Pria itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Nabi menjawab lagi, “Kemudian ibumu.” Pria itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan hak seorang ibu tiga kali sebelum menyebutkan hak seorang ayah. Hal ini menandakan betapa agungnya posisi seorang wanita yang telah menjadi ibu.
Oleh karena itu, dalam Islam, dosa terbesar yang ditetapkan adalah melakukan syirik terhadap Allah, diikuti oleh kedurhakaan terhadap kedua orang tua.

Dalam Islam, setiap anak diwajibkan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, bahkan jika mereka bukan Muslim. Allah Ta’ala berfirman, “Jika keduanya berusaha memaksamu mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka janganlah kamu taati mereka. Namun, pergaulilah mereka dengan baik di dunia ini.” (Q.S. Luqman/31:15)

Kedelapan: Wanita, sebagai anggota masyarakat Muslim, memiliki hak untuk memanjakan jiwa dan raganya, sama seperti laki-laki.
Hak ini dimiliki oleh setiap orang. Oleh karena itu, larangan terhadap pengrusakan darah, kehormatan, harta, dan kemuliaan diungkapkan dalam kalimat yang bersifat umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Darah, harta, dan kehormatan setiap Muslim adalah haram atas Muslim lainnya.” (HR. Muslim)
Sama seperti laki-laki yang memiliki peran dan tanggung jawab, wanita pun demikian. Dia bertanggung jawab atas rumah suaminya (dalam ketiadaan suami), dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pengelolaan rumah tangga, anak-anak, dan agamanya. Dia akan mendapatkan pahala atas amal baiknya, dan sebaliknya, dia akan menerima hukuman dan dipertanyakan atas kesalahannya.

Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. al-Nahl/16: 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Allah Ta’ala berfirman, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (Q.S. al-Maidah/5: 38)

Perempuan memiliki kebebasan penuh untuk memperoleh harta melalui cara-cara yang diizinkan oleh syariat. Mereka berhak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan kesaksian jika diperlukan, serta berhak menuntut hak-hak mereka jika terlanggar.
Secara umum, Islam menjamin kehidupan yang tenang, damai, dan terhormat bagi perempuan, tanpa diskriminasi dibandingkan dengan laki-laki. Masing-masing memiliki peran yang saling melengkapi. Meskipun secara dasar laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi, perempuan sangatlah penting sebagai pendukung kehidupan. Ini bukan merupakan penurunan hak atau penghinaan terhadap perempuan, melainkan peningkatan derajat mereka dan penempatan pada posisi yang layak.

[Diterjemahkan dari Dalil al-Mar`ah al-Muslimah hal. 30-34]

Simak artikel lain terkait wanita pada Kategori Fiqh Wanita.