Rabu, 23 Okt 2024
Home
Search
Menu
Share
More
23 Jun 2024 18:35 - 5 menit reading

Rincian Hukum Gadai dan Pegadaian dalam Islam

Gadai merupakan perjanjian yang mengharuskan seseorang menyerahkan harta benda sebagai jaminan hutang. Harta gadai tersebut akan dipergunakan untuk melunasi hutang apabila si penghutang tidak dapat membayar kembali hutangnya.

Rukun gadai ada lima, yaitu:

  1. Orang yang menggadai (rahin), yaitu pemilik barang gadai sebagai orang yang berhutang.
  2. Penerima barang gadai (murtahin), yaitu pemilik piutang.
    Syarat sah (rahin dan murtahin): Balig, berakal, rasyid (bukan orang bodoh dalam transaksi keuangan), tidak terpaksa, dan pemilik (barang/piutang).
  3. Barang gadai (rahn/marhun). Barang gadai harus berupa benda yang sah untuk diperjualbelikan. karenanya, tidak sah menjadikan jasa sebagai barang gadai.
    Jika kedua pihak setuju untuk menitipkan barang jaminan kepada pemilik piutang, atau kepada pihak ketiga yang terpercaya, hal tersebut tidak menjadi masalah. Meskipun barang jaminan berada pada pihak lain, hak kepemilikan tetap ada pada orang yang menggadaikan, bukan milik orang lain.
  4. Hutang yang terjamin (marhun bihi), yang terjamin haruslah berupa hutang dengan nominal yang jelas.
  5. Sighah, kalimat ijab dari rahin dan kalimat qabul dari murtahin.

Dalam hukum hutang piutang, penyerahan barang jaminan atau gadai sebenarnya tidak wajib. Akan tetapi, apabila pemilik piutang menghendakinya, maka pihak yang berhutang harus menyerahkan barang jaminan tersebut. Pihak yang berhutang dapat membatalkan perjanjian gadai selama barang jaminan belum berada di tangan pemilik piutang. Setelah barang jaminan berada pada pemilik piutang, maka pemilik barang tidak dapat menarik kembali barang tergadai kecuali dengan persetujuan dari pemilik piutang itu sendiri. Gadai bertujuan untuk menjamin pembayaran kepada pemilik piutang, sehingga perjanjian gadai hanya sah setelah adanya utang yang konkret.

Beberapa aturan penting seputar gadai barang:

  1. Pemilik barang tidak boleh memanfaatkan barang gadai dengan cara yang membuat barang tersebut kehilangan fungsi bagi pemilik piutang. Seperti menjual, menghibahkan, atau mewakafkannya. Sama halnya, pemilik barang tidak boleh menggunakan barang gadai dengan cara yang menurunkan nilainya, seperti memakai pakaian yang sementara tergadai.
  2. Pemilik barang dapat memanfaatkan barang yang tergadai, asalkan tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan nilai barang tersebut. Seperti menggunakan kendaraan atau menempati rumah yang tergadai. Namun, pemilik tidak boleh membanguni tanah atau menanami sawah yang sementara tergadai. Pemilik juga dapat meminjamkan atau menyewakan barang gadaiannya, dengan syarat bahwa masa peminjaman atau penyewaan harus berakhir sebelum jatuh tempo pembayaran hutang.
  3. Apabila barang tergadai berada pada pemilik piutang, maka pemilik piutang tidak boleh memanfaatkan barang gadai. Jika terdapat kesepakatan pada saat akad yang mengizinkan pemilik piutang memanfaatkan barang gadai, maka kesepakatan tersebut menjadi tidak sah dan dapat membatalkan akad gadai tersebut.
  4. Apabila barang gadai mengalami perkembangan atau menghasilkan, seperti hewan yang tergadai melahirkan atau kebun buah yang tergadai berbuah, maka hasil tersebut adalah milik pemilik barang gadai, bukan milik pemilik piutang. Jika pemilik piutang menetapkan bahwa hasil dari barang yang tergadai menjadi miliknya, maka syarat tersebut adalah tidak sah dan menyebabkan perjanjian gadai menjadi tidak sah.
  5. Apabila barang yang tergadai memerlukan perawatan, seperti hewan ternak atau kebun buah, maka biaya perawatan menjadi tanggungan pemilik barang, sebagai bagian dari kewajibannya untuk menjaga barang jaminan tersebut. Apabila pemilik barang menghilang atau tidak mampu membiayai perawatan, biaya tersebut menjadi tanggung jawab pemilik piutang dengan persetujuan dan izin dari hakim. Ini memungkinkan pemilik piutang untuk menuntut pengembalian biaya perawatan dari pemilik barang ketika ia kembali atau ketika mampu membayar. Jika pemilik piutang tidak dapat menginformasikan hakim atau kesulitan mendapatkan izinnya, sebaiknya ia mengundang dua saksi terpercaya untuk membuktikan bahwa ia telah mengeluarkan biaya perawatan dengan niat untuk menuntut kembali biaya tersebut dari pemilik barang.
  6. Jika sebagian besar hutang telah terbayarkan, barang gadai akan tetap pada pemilik piutang hingga hutang tersebut lunas sepenuhnya. Namun, barang tersebut dapat kembali ke pemiliknya sebelum pelunasan penuh, jika pemilik piutang menyetujuinya.
  7. Jika barang yang tergadai hilang atau rusak hingga tidak memiliki nilai, maka akad gadai tersebut secara otomatis menjadi batal, dan hal ini tidak mengurangi nilai hutang.
  8. Karena pemilik barang telah mempercayakan barang gadai kepada pemilik piutang (yadu amanah), maka pemilik piutang tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut, jika itu bukan karena kelalaiannya. Misalnya, jika barang terbakar tanpa kelalaian dari pemilik piutang, atau hilang meskipun pemilik piutang telah menyimpannya dengan benar. Namun, jika kerusakan atau kehilangan barang gadai terjadi karena kelalaiannya, maka pemilik piutang harus mengganti rugi. Contohnya, jika ia mengendarai mobil gadai dan terlibat kecelakaan, atau barang itu hilang karena tidak tersimpan pada tempat yang aman. Apabila terjadi perselisihan terkait masalah ini, maka pernyataan pemilik piutang menjadi prioritas apabila ia mengucapkan sumpah..

Penyelesaian sengketa
Jika barang gadai hilang atau rusak karena kelalaian pemilik piutang, dan kedua pihak berselisih mengenai hal:

  • Jenis barang tergadai: Yang diutamakan adalah ucapan pemilik barang, jika ia bersumpah.
  • Nilai barang tergadai: Yang menjadi prioritas adalah ucapan pemilik piutang, jika ia bersumpah.
  • Pelunasan hutang: Yang menjadi prioritas adalah ucapan orang yang berhutang, jika ia bersumpah.
  • Nominal hutang: Yang diutamakan adalah ucapan pemilik piutang, jika ia bersumpah.

Eksekusi penjualan barang gadai
Apabila hutang telah mencapai tanggal jatuh tempo, pemilik piutang memiliki hak untuk meminta pelunasan dari orang yang berhutang, atau untuk menjual barang jaminan. Jika debitur menolak kedua opsi tersebut, pemilik piutang tidak dapat memaksanya secara langsung. Namun, ia dapat mengajukan kasus tersebut ke pengadilan karena hanya hakim yang memiliki wewenang untuk memaksa pelunasan. Jika debitur tetap menolak atau menghilang, hakim dapat menjual barang jaminan atas nama pemiliknya, dan menggunakan hasil penjualan untuk melunasi hutang.

Pemilik piutang dapat menjual barang jaminan dengan persetujuan dan kehadiran pemilik barang. Jika pemilik barang tidak dapat hadir tetapi memberikan izin, pemilik piutang dapat menjual barang tersebut dengan syarat pemilik barang menyetujui harga jualnya, untuk menghindari kesalahpahaman antara kedua belah pihak.
(Zubdatul Fiqhis Syafii, II/26-27)

Simak artikel lain tentang transaksi keuangan pada Kategori Fiqh Jual Beli.