Rabu, 27 Nov 2024
Home
Search
Menu
Share
More
atsariyyah pada Uncategorized
21 Jun 2024 23:08 - 6 menit reading

Bid’ah Hasanah Menurut Imam al-Syafii rahimahullah

Soal:
assalamu’alaikum.
Afwan y ustd,apakah benar imam Syafi’i tdk pernah berpendapat bhw bid’ah itu terbagi dua? Karena yg saya tahu dari kitab2 klasik banyak yg menerangkan tentang itu. Tapi setelah saya dengar dari ustadz bhw itu hanya kesalahfahaman maka saya pun kaget. Benarkah itu hanya mengada-ada atau bgmana? Tolong sampaikan amanat ilmiah yg sejujurnya.
wassalamu’alaikum wr wb.
sofiudin
xxxxx@yahoo.com

Jawab:
Jawaban dari pertanyaan anda adalah: Betul,Imam al-Syafii rahimahullah menyatakan adanya bid’ah hasanah.
Beliau rahimahullah berkata:
المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة، والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهذه محدثة غير مذمومة
“Perkara yang baru ada dua bentuk. Pertama, perkara baru yang menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru berupa kebaikan yang tidak menyelisihi satupun yang tersebut (kitab, sunnah, atsar, ijma’), inilah perkara baru yang tidak tercela.”
Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam Manaqib al-Syafii, lalu berkata setelahnya, “Demikian halnya mendebat ahli bid’ah ketika mereka memunculkan bid’ah, ketika mereka membawakah syubhat-syubhat dan membantah syubhat mereka. Walaupun semua ini adalah perkara baru, namun ia terpuji dan tidak tertolak.”

Imam al-Syafii juga berkata:
البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان (نعمت البدعة هي)
“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai sunnah adalah yang terpuji, sementara semua yang menyelisihi sunnah adalah tercela.”
Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam al-Hilyah, lalu beliau berkata, Beliau berdalil dengan ucapan Umar bin al-Khaththab tentang shalat tarwih, “Ini adalah bid’ah terbaik.”
Kami tidak ingin membahas mengenai masalah yang lebih luas pada artikel ini, yaitu mengenai bid’ah hasanah. Namun kami hanya membahas sesuai dengan pertanyaan, yakni tentang sah tidaknya penisbatan pembagian bid’ah ini kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Kedua ucapan beliau rahimahullah jelas menetapkan pembagian ini.

Lantas, apa maksud bid’ah hasanah oleh Imam al-Syafii rahimahullah?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian menyatakan bahwa yang beliau maksud adalah bid’ah secara bahasa. Sebagian menyatakan bahwa yang beliau maksud adalah bid’ah secara istilah syariat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafiiyah, sebagaimana yang akan disebutkan.
Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah berkata dalam Fatawa Haditsiah, “Ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah, maka yang mereka maksud adalah bid’ah secara bahasa. Sementara yang menyatakan semua bid’ah adalah sesat, maka yang mereka maksud adalah bid’ah dalam istilah syariat.”
Semakna dengannya, ucapan al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam.

Menurut kami pribadi, tidak ada dampak signifikan dari menentukan apa maksud Imam al-Syafii rahimahullah dengan bid’ah hasanah. Karena ucapan beliau sudah cukup jelas menunjukkan apa yang beliau maksud dari bid’ah atau perkara baru yang hasanah. Beliau menyatakan bahwa bid’ah hasanah, adalah semua bid’ah yang tidak bertentangan dengan al-Quran, hadis, atsar, dan ijma’.

Berdasarkan hal ini, membuat lembaga pendidikan Islam -misalnya- adalah bid’ah hasanah, sebagaimana paham Liberal -misalnya- merupakan bid’ah yang sayyiah. Kedua contoh ini disepakati oleh kedua belah pihak, baik yang menyatakan bid’ah pada ucapan Imam al-Syafii adalah dari sisi bahasa, maupun yang menyatakan itu makna dari sisi syariat. Karena itulah, Syaikh Ali Mahfuzh rahimahullah memandang bahwa perbedaan pendapat mengenai ada tidaknya bid’ah hasanah adalah khilaf lafzhi alias tanawwu’. Wallahu a’lam.

Tambahan:
Pendapat yang menyatakan adanya bid’ah hasanah adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Ucapan para ulama Syafiiyah:

  1. Imam al-Ghazali rahimahullah berkata dalam al-Ihya`, “Apa saja yang merupakan amalan baru sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka tidak semua amalan baru tersebut terlarang. Yang terlarang hanyalah bid’ah yang bertolakbelakang dengan sunnah yang sah atau yang mengilangkan suatu perkara dalam Islam padahal sebabnya masih ada. Bahkan terkadang hukum bid’ah bisa wajib pada keadaan tertentu, jika sebabnya berubah.”
  2. Al-Izz bin Abdissalam dalam Qawaidul Ahkam berkata, “Bid’ah terbagi menjadi wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.” Selanjutnya beliau berkata, “Cara membedakannya adalah dengan mengecek bid’ah tersebut dengan kaidah-kaidah syariat. Jika ia termasuk dalam kaidah pewajiban, maka hukumnya wajib. Jika termasuk dalam kaidah pengharaman, maka hukumnya haram. Demikian halnya jika termasuk dalam kaidah penyunnahan, atau pemakruhan, atau pemubahan.”
  3. Imam al-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim, menafsirkan hadits: “Semua bid’ah adalah kesesatan,” “Maksudnya adalah semua perkara baru yang batil dan semua bid’ah yang tercela.”
  4. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam al-Fath, “Yang benarnya, jika suatu bid’ah tercakup dalam hal yang baik dalam syariat, maka itu bid’ah yang baik. Jika ia tercakup dalam hal yang buruk dalam syariat, maka itu bid’ah yang buruk. Jika tidak (tercakup oleh keduanya) maka itu bid’ah yang mubah. Bid’ah memiliki 5 hukum.”
    Beliau juga berkata, “Semua yang tidak ada pada zaman beliau shallallahu alaihi wasallam adalah bid’ah. Hanya saja, sebagiannya ada baik dan ada yang tidak baik.”
  5. Al-Suyuthi rahimahullah berkata dalam al-Hawi, “Hukum bid’ah tidak semuanya haram dan makruh. Ada bid’ah yang mubah, yang sunnah, dan yang wajib.”
  6. Al-Khathib al-Syirbini rahimahullah dalam al-Mughni, “Penulisan nama-nama surah dan pemberian tanda pada pembagian 1/10 juz, yang ada dalam mushaf sekarang, adalah amalan baru oleh al-Hajjaj pada zamannya.” Al-Bujairmi berkata -dalam Tuhfatul Habib- mengomentarinya, “Walaupun amalan itu bid’ah, namun ia bukan amalan haram dan bukan pula makruh. Berbeda dengan pemberian titik dan harakat pada mushaf, ia juga bid’ah tapi hukumnya sunnah.”
  7. Ibnul Atsir al-Jazari berkata dalam al-Nihayah, “Bid’ah ada dua jenis; bid’ah yang berupa hidayah dan bid’ah yang berupa kesesatan.”
  8. Abu Syamah dalam kitab al-Baits ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits berkata, “Berdasarkan hal ini, amalan baru terbagi menjadi bid’ah yang hasanah, yaitu yang sesuai dengan sunnah, dan bid’ah yang buruk, yaitu yang menyelisihi sunnah.”

Para ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sayyi`ah, selain ulama Syafiiyah adalah: Muhammad al-Zarqani, Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, dan Abu Bakr Ibnul Arabi, semuanya dari kalangan Malikiah. Badruddin al-Aini dan al-Kirmani dari kalangan Hanafiah. Ibnul Jauzi dari kalangan Hanabilah.

Faidah:
Ketika memaparkan permasalahan talfiq (penggabungan) dalam zikir atau doa yang semuanya ma`tsur dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, Ibnu Taimiah rahimahullah berkata tentang talfiq ini, “Ini pendapat yang lemah, karena talfiq seperti ini bukanlah sunnah, bahkan menyelisihi amalan yang sunnah. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menggabungkan semua zikir itu pada waktu bersamaan. Yang ada adalah, kadang beliau membaca zikir yang satu, dan kadang membaca zikir lainnya. Jika ada dua zikir yang warid dari dari beliau, maka menggabungkan keduanya bukanlah sunnah, bahkan itu merupakan bid’ah, walaupun hukumnya boleh.” (Majmu’ Fatawa: 24/243)

Lahiriah ucapan Ibnu Taimiah rahimahullah menunjukkan adanya bid’ah yang boleh dilakukan. Jelas bid’ah yang beliau maksud bukanlah dalam artian bahasa, karena dari awal beliau membahas tentang syariat zikir dan doa. Wallahu A’lam

Video penjelasan tentang definisi bid’ah.