Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami bahwa seseorang membeli saham dari suatu perusahaan atau badan usaha, tidak lepas dari dua tujuan:
Pertama: Sebagai simpanan. Yaitu ia membelinya dengan tujuan hanya untuk memperoleh bagi hasil keuntungan setiap bulannya. Ia tidak akan menjual saham tersebut walaupun harganya bertambah mahal.
Kedua: Sebagai alat tukar. Yaitu ia membelinya dengan niat akan menjualnya kembali jika harganya naik, sehingga dia memperoleh keuntungan dari selisih harganya.
Jika ini sudah jelas, maka:
- Tidak ada zakat pada saham jenis pertama. Hal itu karena saham pada keadaan yang pertama, bukanlah harta yang terkena hukum zakat. Hanya saja, jika keuntungan yang ia peroleh darinya mencapai nishab -walaupun dengan menambahkan uang yang sudah ia miliki-, maka ia wajib mengeluarkan zakat darinya, sebagai zakat mata uang.
- Saham jenis kedua wajib terkena zakat perdagangan. Hal itu karena saham yang ia miliki, kedudukannya sama seperti barang yang ia perjualbelikan. Jika berlalu setahun penuh sejak awal ia membeli saham tersebut, dan nilai jual sahamnya pada penghujung haul mencapai nishab, maka hasil penjualannya terkena zakat perdagangan. Wallahu A’lam.
Baca artikel lain terkait transaksi keuangan pada Kategori Fiqh Transaksi Keuangan.