Rabu, 23 Okt 2024
Home
Search
Menu
Share
More
18 Jun 2024 18:23 - 3 menit reading

Hukum-Hukum Islam di Hari Tasyrik

Hari-hari Tasyrik merujuk pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Berikut ini adalah beberapa hukum Islam yang berkaitan dengan hari-hari tersebut:

  1. Pertama, diharamkan berpuasa pada hari ini, baik puasa wajib maupun sunnah, baik puasa yang dilakukan karena alasan tertentu atau tanpa alasan khusus. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
    أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
    “Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Muslim)
  2. Kedua: Bolehkah berpuasa pada hari-hari ini bagi yang melakukan haji Tamattu’ namun dia tidak mampu menyembelih hadyu (sembelihan manasik)?
    Orang yang melakukan haji Tamattu’ harus menyembelih hadyu. Jika mereka tidak mampu, mereka diwajibkan berpuasa selama 10 hari; tiga hari selama haji dan tujuh hari setelah kembali ke negara asal mereka. Menurut pendapat yang dianggap paling kuat dalam Mazhab Syafiiyah, berpuasa pada hari-hari Tasyrik tetap dilarang. Karena itu, para fuqaha menyarankan agar puasa dilakukan sebelum Hari Arafah, yaitu pada tanggal 6, 7, dan 8 Zulhijjah. Hal ini karena jamaah haji tidak dianjurkan untuk berpuasa pada Hari Arafah agar mereka memiliki kekuatan maksimal untuk beribadah pada hari tersebut. Ibnu Ruslan rahimahullah menyatakan dalam Shafwatuz Zubad, “Berpuasa pada hari Arafah adalah sunnah, kecuali bagi mereka yang sedang melaksanakan haji, karena puasa dapat melemahkan fisik.” Dengan demikian, berpuasa pada Hari Tasyrik secara mutlak tetap dilarang menurut pendapat yang paling kuat dalam Mazhab Syafiiyah. Sementara itu, Imam al-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ mendukung pendapat yang memperbolehkan puasa pengganti hadyu pada hari-hari Tasyrik, pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad, yang didasarkan pada hadits Umar.’:
    لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
    “Tidak diberi keringanan pada hari tasyriq untuk berpuasa, kecuali bagi yang tidak mampu menyembelih hadyu.” (HR. al-Bukhari)
  3. Ketiga: Diwajibkan bermalam dan melontar ke-3 jumrah bagi jamaah haji pada ketiga hari Tasyrik di Mina, dimana yang melanggarnya wajib membayar dam. Hanya saja, dibolehkan untuk meninggalkan Mina sebelum masuknya malam ke-13, dengan sejumlah syarat yang disebutkan oleh para fuqaha dalam bab haji. Amalan ini dikenal dengan istilah nafarul awwal. Allah Ta’ala berfirman:
    وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن ‌تَعَجَّلَ ‌فِي يَوۡمَيۡنِ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۖ لِمَنِ ٱتَّقَىٰۗ
    “Ingatlah Allah pada hari-hari tertentu (hari-hari Tasyrik). Siapa yang bersegera (meninggalkan Mina) setelah hari kedua maka tidak ada dosa baginya, dan siapa yang terlambat (sampai hari ke-3 Tasyrik) maka tidak ada dosa baginya, bagi yang bertakwa.”
    Syarat sah melontar jumrah dan konsekuensi melanggarnya, dibahas secara lengkap dalam bab kewajiban haji dalam kitab-kitab fiqh.
  4. Keempat, disunnahkan bagi umat Islam yang tidak melaksanakan haji untuk menyembelih hewan qurban (udhhiyah). Waktu penyembelihan qurban berlangsung hingga hari terakhir Tasyrik, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Allah Ta’ala berfirman:
    وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ ‌بَهِيمَةِ ‌ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ
    “Agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari tertentu (Tasyrik) atas hewan ternak yang Dia rezekikan kepada mereka.”
  5. Kelima: Bagi selain jamaah haji, disunnahkan memperbanyak takbir pada ketiga hari ini, baik takbir mutlak maupun takbir muqayyad. Allah Ta’ala berfirman:
    ‌وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ
    “Hendaknya kalian menggenapkan jumlah bulan (Ramadhan) dan bertakbirlah untuk Allah.” (QS. al-Baqarah: 85)
    Meskipun ayat ini membahas tentang takbir di hari Idul Fitri, hal itu juga diterapkan pada hari Idul Adha. Takbir mutlak adalah takbir yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, sedangkan takbir muqayyad adalah takbir yang dilakukan setelah shalat lima waktu, baik secara individu maupun berjamaah, di masjid atau tempat lain. Lebih utama mendahulukan takbir ini sebelum membaca zikir dan berdoa setelah shalat. Kedua jenis takbir ini dianjurkan dari shalat Subuh tanggal 9 Zulhijjah hingga shalat Ashar tanggal 13 Zulhijjah, seperti yang dikatakan oleh Abu Syuja’ rahimahullah. Al-Nawawi dalam Minhajut Thalibin menyatakan, “Inilah yang dipraktikkan.” Beliau juga menyebutkan, “Menurut pendapat yang lebih tepat dari Imam Syafii, disunnahkan takbir pada hari-hari tersebut, setelah shalat qadha, shalat wajib, dan shalat sunnah.” Untuk jamaah haji, mereka dianjurkan untuk bertakbir setelah shalat Zuhur pada tanggal 10 Zulhijjah, karena sebelumnya mereka dianjurkan untuk bertalbiyah. Adapun lafazh takbir yang direkomendasikan adalah:
    الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لَا إِلَه إِلَّا الله، وَالله أكبر، الله أكبر، وَللَّه الْحَمد
    Lafazh ini diulangi sebanyak 3 kali. Imam al-Syafii menganggap baik menambahkan setelahnya:
    الله أكبر كَبِيرا وَالْحَمْد لله كثيرا وَسُبْحَان الله بكرَة وَأَصِيلا لَا إِلَه إِلَّا الله وَلَا نعْبد إِلَّا إِيَّاه مُخلصين لَهُ الدّين وَلَو كره الْكَافِرُونَ لَا إِلَه إِلَّا الله وَحده صدق وعده وَنصر عَبده وأعز جنده وَهزمَ الْأَحْزَاب وَحده لَا إِلَه إِلَّا الله وَالله أكبر
    Semua ini disebutkan oleh al-Khathib al-Syirbini dalam al-Iqna’ Syarh Matn Abi Syuja’