Rabu, 23 Okt 2024
Home
Search
Menu
Share
More
atsariyyah pada Fiqh Sembelihan
17 Jun 2024 08:24 - 4 menit reading

Menggabungkan Niat Aqiqah dan Qurban dalam Satu Sembelihan

Sudah banyak pertanyaan yang masuk seputar hukum menggabungkan niat antara menyembelih aqiqah/nasikah dengan menyembelih qurban pada hari idul adh-ha.
Maka berikut pembahasannya:
Sebenarnya, jawaban permasalahan ini terbangun pada salah satu masalah ushuliah, yaitu: Hukum menggabungkan dua ibadah dalam satu niat. Apakah hal ini boleh atau tidak?
Ringkasnya, para ulama ushul menyebutkan 2 syarat akan bolehnya menggabungkan 2 ibadah dalam 1 niat, yaitu:

  1. Kedua ibadah itu sama jenis dan waktunya. Adapun jika kedua ibadah itu tidak sama jenis atau berbeda waktu pelaksanaannya, maka tidak boleh menggabungkan keduanya. Seperti meniatkan zakat sekalugus wakaf, atau meniatkan shalat Zuhur sekaligus Ashar.
  2. Salah satu dari kedua ibadah tersebut bukanlah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Laysat maqshudah li dzatiha). Dalam artian, salah satu dari ibadah itu bisa terwakilan pelaksanaannya oleh ibadah lain yang sejenis. Adapun jika kedua ibadah itu berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dalam artian keduanya harus dikerjakan sendiri-sendiri, karena maksud dan tujuan kedua ibadah itu berbeda, maka tidak boleh menggabungkan keduanya.

Contoh yang memenuhi syarat:
Pertama: Shalat 2 rakaat setelah azan dengan meniatkannya sebagai sunnah rawatib sekaligus tahiyatul masjid. Tahiyatul masjid bukanlah ibadah yang berdiri sendiri, dalam artian tahiyatul masjid adalah shalat 2 rakaat (apapun jenisnya) sebelum seseorang duduk dalam masjid. Karenanya, kapan seseorang sudah shalat 2 rakaat sebelum duduk, maka ia telah melakukan tahiyatul masjid, apapun jenis shalat 2 rakaat tersebut. Karenanya ketika seseorang mengerjakan sunnah rawatib 2 rakaat sebelum duduk, maka itu sudah teranggap sebagai tahiyatul masjid baginya.

Kedua: Puasa 6 hari pada bulan Syawal dengan puasa Senin-Kamis. Inti dari puasa 6 hari pada bulan Syawal adalah pokoknya berpuasa 6 hari padanya, hari apapun itu. Karenanya, jika seseorang berpuasa pada hari Senin atau Kamis pada bulan syawal, maka itu bisa sekaligus ia niatkan sebagai puasa syawal baginya.

Contoh yang tidak memenuhi syarat:
Pertama: Shalat 2 rakaat menjelang subuh, dengan niat shalat tahajud, sekaligus shalat sunnah fajar. Ini tidak boleh, karena asal waktu pengerjaan kedua shalat sunnah berbeda. Satu sebelum subuh dan yang lainnya setelah masuknya waktu subuh.
Kedua: Seseorang yang mempunyai hutang fidyah 10 hari dan sekaligus mempunyai kewajiban bayar kaffarat sumpah. Lalu ia memberi makan 10 orang miskin dengan niat fidyah sekaligus kaffarat sumpah. Kedua ibadah tidak syah digabungkan, karena kedua jenis ibadah ini (fidyah dan kaffarat) adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dalam artian, keduanya mempunyai maksud dan tujuan dasar yang berbeda. Satu sebagai pengganti puasa, sementara yang lainnya sebagai penggugur dosa karena telah melanggar sumpah.

Nah, bertolak dari uraian sebelumnya, kita bisa mengetahui jawaban dari pertanyaan sebelumnya adalah:
TIDAK BOLEH MENGGABUNGKAN NIAT ANTARA AQIQAH/NASIKAH DENGAN QURBAN/UDH-HIAH
Kenapa? Karena kedua ibadah ini berdiri sendiri, yaitu keduanya disyariatkan untuk maksud dan tujuan yang berbeda, sehingga tidak bisa saling mewakilkan. Aqiqah/nasikah tujuannya sebagai rasa syukur dan tebusan untuk anak yang baru lahir, sementara qurban/udh-hiah tujuannya sebagai tebusan untuk diri sendiri.

Al-Haitami berkata dalam Tuhfah Al-Muhtaj Syarh Al-Minhaj (9/371):
وَظَاهِرُ كَلَامِ َالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا ، وَهُوَ ظَاهِرٌ ; لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ
“Lahiriah pendapat ulama Syafi’iyah adalah: Seandainya seseorang berniat dengan satu ekor kambing untuk qurban dan sekaligus untuk ‘aqiqah maka keduanya tidak syah. Inilah pendapat yang lebih tepat, karena masing-masing dari kedua ibadah ini adalah sunnah yang maqshudah (punya tujuan tersendiri).”

Abu Bakr Al-Fihri rahimahullah berkata mengenai hukum menggabungkan antara niat aqiqah, qurban, sekaligus walimah (resepsi pernikahan):
إذَا ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ لِلْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيقَةِ لَا يُجْزِيهِ ، وَإِنْ أَطْعَمَهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَهُ ، وَالْفَرْقُ أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْأَوَّلَيْنِ إرَاقَةُ الدَّمِ ، وَإِرَاقَتُهُ لَا تُجْزِئُ عَنْ إرَاقَتَيْنِ ، وَالْمَقْصُودُ مِنْ الْوَلِيمَةِ الْإِطْعَامُ ، وَهُوَ غَيْرُ مُنَافٍ لِلْإِرَاقَةِ ، فَأَمْكَنَ الْجَمْعُ
“Jika ia menyembelih hewan qurbannya dengan niat qurban sekaligus aqiqah, maka itu tidak syah. Namun jika ia menghidangkan hewan qurbannya dalam walimah, maka itu syah. Perbedaan antara kedua penggabungan ini adalah: Tujuan dari kedua ibadah yang pertama (qurban dengan aqiqah) adalah pengaliran darah, sehingga satu pengaliran darah tidak bisa menggantikan posisi dua pengaliran darah. Sementara tujuan dari walimah adalah member makan, dan tujuan ini tidak bertentangan dengan pengaliran darah (yang menjadi tujuan qurban), karenanya keduanya bisa digabungan (dalam satu niat).” Al-Haththab rahimahullah membawakan pendapat ini dalam Mawahib al-Jalil (3/259)

Kesimpulannya:
Tidak boleh menyembelih hewan dengan niat qurban sekaligus untuk aqiqah karena alasan yang telah dipaparkan.
Ini adalah mazhab Al-Malikiah dan Asy-Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Permasalahan:
Jika seseorang hanya mampu melakukan salah satunya, maka lebih utama ia mendahulukan qurban daripada aqiqah. Walaupun hukum keduanya adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu, namun waktu pelaksanaan qurban itu terbatas, yakni hanya 4 hari dalam setahun (10-13 Dzulhijjah). Sementara waktu pelaksanaan aqiqah bisa kapan saja sepanjang tahun, selama anak belum balig. Wallahu A’lam.

Baca artikel lain terkait sembelihan pada Kategori Fiqh Sembelihan.